Soal Bir dan Wine Halal, Kementerian Agama Bilang soal Penamaan Produk
Kabar Indonesia, Jakarta – Kementerian Agama melalui Badan Penjaminan Produk Halal selama ini vokal agar produk bir, tuak, dan wine mendapat sertifikasi Halal. BPJPH mengatakan persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, sehingga produk terjamin kehalalannya.
Permasalahan ini terkait dengan nama produk, bukan status kehalalan produk, kata Kepala Pusat Pendaftaran dan Sertifikasi Halal BPJPH Kementerian Agama Mamat Salamet Burhanudin, dalam keterangan resmi, Selasa, Oktober. 1 Agustus 2024.
Ia menegaskan, masyarakat tidak perlu meragukan kehalalan produk tersebut. Sebab seluruh produk yang terdaftar di BPJPH telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapat definisi halal dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau Komite Fatwa Produk Halal.
Ia juga mengatakan, badan usaha tidak bisa mengajukan pendaftaran sertifikat halal jika nama produknya bertentangan dengan syariat Islam. Aturan tersebut tertuang dalam SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta dalam Fatwa MUI No. 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal.
Namun kenyataannya masih ada nama-nama produk yang telah mendapat sertifikat halal, baik yang definisi halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal, lanjut Mamat.
Menurut dia, hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai nama produknya. Ia mencontohkan, ada 8 produk dengan nama “bir” yang sertifikat halalnya dikeluarkan Komisi Fatwa MUI. Namun, ada 14 produk dengan nama serupa yang sertifikat halalnya telah dikeluarkan Komite Fatwa.
“Perlu kami sampaikan juga bahwa produk dengan nama yang terdiri dari dua kata tersebut yang telah dinyatakan halal oleh Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah diverifikasi dan/atau diuji oleh Lembaga Verifikasi Halal, dengan jumlah terbesar berasal dari Lembaga LPH. . untuk kajian pangan, obat dan kosmetika MUI dengan 32 produk. Sisanya berasal dari institusi lain.” Mamat menjelaskan.
Periklanan
Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal Dzikro mengajak semua pihak duduk bersama untuk membangun kesamaan persepsi. Selain itu, kewajiban sertifikasi Halal tahap pertama akan berlaku setelah tanggal 17 Oktober 2024, khusus untuk makanan dan minuman, produk pemotongan, dan layanan pemotongan.
“Alangkah baiknya jika energi seluruh pemangku kepentingan yang berkepentingan dalam menjamin produk halal, bersama masyarakat dan dunia usaha, kini dapat dimanfaatkan untuk memastikan komitmen sertifikasi halal berhasil dan semakin dekat,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Badan Fatwa MUI Asrorun Niam Shole menyebut definisi halal melanggar standar fatwa MUI dan juga tidak lolos Komisi Fatwa MUI.
Oleh karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut, kata Asrorun Niamh Shole dalam keterangan tertulisnya, Senin, 30 September 2024.
Niamh mengatakan MUI telah melakukan penelusuran mendalam dan memastikan produk tersebut bersertifikat Halal melalui jalur tersebut. menyatakan diri.
Pilihan redaksi: pergantian calon anggota parlemen terpilih sebelum pelantikan
Share this content:
Post Comment