Peringatan G30S, Ini Profil 10 Pahlawan Revolusi Indonesia
Kabar Indonesia, Jakarta – Pahlawan Revolusi Indonesia adalah pahlawan yang gugur membela Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada masa Gerakan Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) pada tanggal 30 September 1965.
Korban dalam peristiwa ini adalah sembilan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan satu anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Menyusul berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Revolusi juga diakui sebagai Pahlawan Nasional. Lantas, siapa sajakah 10 Pahlawan Revolusi Indonesia?
Daftar 10 Pahlawan Revolusi Indonesia
Peluncuran Ensiklopedia Pahlawan Nasional Subdit Sejarah Direktorat Sejarah dan Nilai Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan Tahun 1995, berikut profil 10 pahlawan. Revolusi:
1. Jenderal Anumerta Ahmad Yani (1922–1965).
Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti Pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah, serta Pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, Jawa Barat.
Pada tahun 1958, ia diangkat menjadi Panglima Komando Operasi pada tanggal 17 Agustus di Padang, Sumatera Barat, untuk menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kemudian, pada 1 Oktober 1965, ia diculik oleh komplotan PKI dan jasadnya ditemukan di kawasan Lubang Buaya Jakarta.
2. Letnan Jenderal Suprapto anumerta (1920–1965).
Suprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah pada tanggal 20 Juni 1920. Pendidikan militernya dimulai di Akademi Militer Kerajaan (Akmil) di Bandung, Jawa Barat, namun terhenti karena pendudukan Indonesia oleh tentara Jepang.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto terlibat aktif dalam upaya perampasan senjata pasukan Jepang di Cilacap, Jawa Tengah. Semasa karir militernya, beliau pernah menjabat Kepala Staf dan Wilayah IV Diponegoro di Semarang, Jawa Tengah, hingga Wakil II Menteri/Panglima Angkatan Darat di Jakarta.
3. Letnan Jenderal Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (1924–1965).
M.T. Haryono lahir di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 20 Januari 1924. Pada masa pemerintahan Jepang, ia belajar di Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta, dan pada masa kemerdekaan ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (PSA) dan berpangkat mayor.
M.T. Haryono dikenal fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman serta pernah terlibat dalam berbagai negosiasi antara Indonesia, Belanda, dan Inggris. Ia juga menjabat sebagai sekretaris delegasi Indonesia, sekretaris Dewan Pertahanan Negara, dan wakil tetap Kementerian Pertahanan untuk masalah gencatan senjata.
4. Letnan Jenderal Anumerta Siswondo Parman (1918–1965).
S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918. Pada masa pemerintahan Jepang, ia bekerja di Biro Kenpeitai. Dia juga ditangkap karena dicurigai, tetapi dibebaskan lagi dan dikirim ke Jepang untuk belajar intelijen dengan Kenpei Kashi Butai.
Setelah kemerdekaan, S. Parman bergabung dengan TKR dan diangkat menjadi Kepala Staf Mabes Polri di Yogyakarta. Pada bulan Desember 1949, ia diangkat menjadi kepala staf gubernur militer Jakarta Raya dan kemudian menjadi atase militer Indonesia di London pada tahun 1959.
5. Secara anumerta Mayor Jenderal Donald Ignatius Pandjaitan (1925–1965).
D. I. Pandjaitan lahir di Baliga, Tapanuli, Sumatera Utara pada tanggal 9 Juni 1925. Pada masa pendudukan Jepang, ia menjalani pelatihan militer di Gyugun, kemudian ditempatkan di Pekanbaru, Riau, hingga kemerdekaan.
DI. Pandjaitan ikut mendirikan TKR dan terpilih menjadi komandan batalyon. Beberapa jabatan kemudian dijabatnya seperti Komandan Divisi Pendidikan IX/Banteng di Bukittinggi (1948), Kepala Staf Umum IV, Panglima Angkatan Darat Sumatera dan Kepala Perbekalan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa Agresi Militer Belanda Kedua.
6. Secara anumerta Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo (1922–1965).
Periklanan
Sutoyo lahir di Kebumen, Jawa Tengah pada tanggal 28 Agustus 1922. Setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ia menjadi anggota Korps Polisi Militer, kemudian menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kepala departemen organisasi kepolisian Angkatan Darat ke-2. Resimen di Purvorejo.
Setelah itu, Sutoyo menjabat sebagai Kepala Korps Polisi Militer Yogyakarta, Komandan Detasemen Polisi Militer III Surakarta, Kepala Staf Mabes Polisi Militer, dan Asisten Atase Militer Indonesia di Inggris. Ia diculik dan dibunuh oleh pemberontak PKI karena tidak setuju dengan pembentukan Divisi Kelima.
7. Kapten Anumerta Pierre Tendin (1939–1965).
Pierre Tendin lahir di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1939. Setelah lulus dari Akademi Militer dengan gelar sarjana teknik pada tahun 1962, beliau ditugaskan sebagai komandan peleton Batalyon Insinyur II II/Kodam Barisan Bukit di Medan, Sumatera Utara.
Pada tahun 1965, Pierre Tendin terpilih sebagai asisten Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok pemberontak PKI mengepung rumah Jenderal A.H. Nasution, Pierre ditangkap dan dibunuh.
8. AIP Anumerta Karel Satsuyt Tubun (1928–1965)
Karel Satsut Tubun lahir di Thuale, Maluku Tenggara, pada tanggal 14 Oktober 1928. Ia lulusan Sekolah Kepolisian Negeri Ambon, terpilih menjadi Agen Polisi Tingkat II dan bertugas di satuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.
Saat pemberontakan KPI, Karel bertugas sebagai pengawal di rumah sakit dokter. Johannes Leymen yang letaknya bersebelahan dengan kediaman Jenderal A.H. Nasution. Dia melawan, perkelahian pun terjadi, tetapi dia tertembak.
9. Brigjen Katamso Anumerta (1923–1965).
Katamso lahir di Sragen, Jawa Tengah pada tanggal 5 Februari 1923. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan militer Peta di Bogor. Ia kemudian diangkat menjadi Shodanko Peta di Surakarta.
Saat menjabat sebagai Komandan Resor Militer atau Korem 072 Kodam VII Diponegoro di Yogyakarta, Katamso diculik dan dibunuh. Jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965 dan dimakamkan di Taman Pemakaman. Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
10. Kolonel Anumerta Sugiyono (1926–1965).
Sugiyono lahir di Desa Gedaren, Gunungkidul, Yogyakarta pada tanggal 12 Agustus 1926. Pada masa kemerdekaan, ia bergabung dengan TKR dan menjabat sebagai komandan cabang di Yogyakarta.
Pada tahun 1947, ia diangkat menjadi aide-de-camp komandan Brigade 10 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto dan ikut serta dalam penyerangan umum pada tanggal 1 Maret 1949.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Sugiyono yang baru kembali dari Pekalongan, Jawa Tengah, ditangkap oleh komplotan PKI di markas Korem 072. Ia dibunuh di Kentungan, sebelah utara Yogyakarta, dan jasadnya ditemukan pada tanggal 22 Oktober 1965 .
Pilihan Editor: Kisah K. S. Tubun pada malam G30S, satu-satunya polisi pahlawan revolusi
Share this content:
Post Comment