Maraknya Represifitas Aparat, Tim Advokasi Untuk Demokrasi Serukan Penegakan Hukum yang Lebih Inklusif


Kabar Indonesia, Jakarta – Tim Pembela Demokrasi (TAUD) yang merupakan koalisi beberapa lembaga masyarakat sipil mengadakan diskusi publik pada Kamis, 19 September 2024. Tujuan diskusi adalah untuk memberikan update pendampingan dan pemantauan tindak kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan aparat keamanan. sembari mengamankan aksi unjuk rasa #KawalPutusanMK dan #EmergencyCall.

Dikutip dari laman KontraS: Diskusi ini digelar untuk menyoroti berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi, sekaligus memperkuat seruan penegakan hukum yang adil dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di tengah situasi yang semakin kritis di Indonesia.

Aksi demonstrasi yang berlangsung pada 22-26 Agustus 2024 ini dilatarbelakangi oleh keputusan kontroversial pemerintah dan Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR). Pada 21 Agustus 2024, mereka berupaya membatalkan dua putusan Mahkamah Konstitusi (MC) yang diumumkan sehari sebelumnya, yakni Putusan Nomor 2024.60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 2024. 70/PUU-XXII/2024.

Masyarakat umum memandang upaya tersebut sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap konstitusi. Dalam rangka Keputusan no. 60 Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa partai politik atau perkumpulan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah, meski tanpa memiliki kursi di DNRD, sedangkan Putusan No. 60 70 menolak perubahan mengenai batasan usia calon kepala daerah, yang tetap minimal. 30 tahun.

Menyikapi hal tersebut, alih-alih memasukkan esensi putusan MK ke dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), pemerintah dan Baleg DPR malah memunculkan pasal baru yang tidak sesuai dengan putusan MK. . Langkah tersebut dinilai sebagai manuver politik yang bertujuan untuk mengamankan kekuasaan Presiden Joko Widodo dan koalisi partai pendukungnya, terutama dalam memperkuat kontrol mereka di tingkat pemerintah daerah dan melanjutkan kekuasaan politik dinasti keluarga Jokowi.

Pada tanggal 22 Agustus 2024, terjadi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia seiring dengan turunnya berbagai kelompok masyarakat ke jalan untuk melakukan protes. Menurut Lembaga Bantuan Hukum dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBHI), setidaknya ada 44 lokasi di berbagai daerah menggelar aksi unjuk rasa. Sayangnya, reaksi negara terhadap tindakan tersebut sangat represif.

Aparat TNI/Polri bertindak berlebihan, menunjukkan tingkat kekerasan yang mengkhawatirkan terhadap demonstran. Penggunaan kekerasan yang berlebihan, penyiksaan dan bahkan penangkapan sewenang-wenang sudah menjadi praktik umum dalam aksi pengamanan.

Melalui pantauan media dan pemberitaan hotline Pusat Data Kekerasan Nasional (PDKN), ditemukan berbagai bukti kekerasan aparat keamanan di 13 kota/kabupaten, antara lain Aceh, Bandung, Banjarmasin, Jakarta, Kediri, Makassar, Palu, Pekanbaru. , Purvokerto, Samarinda, Semarang, Mataram dan Tarakan. Dalam berbagai kejadian tersebut, tercatat 254 orang terluka dan 380 orang ditangkap sewenang-wenang. Polisi merupakan aktor utama dalam insiden kekerasan ini, dengan tercatat 13 kasus kekerasan yang melibatkan petugas polisi.

Selain itu, TAUD mendokumentasikan berbagai bentuk kekerasan melalui foto dan video yang diunggah pengunjuk rasa di media sosial, serta pemberitaan PDKN. Sedikitnya 135 dokumen foto dan video kekerasan polisi berhasil dikumpulkan di 13 kota/daerah, serta 33 dokumen tambahan dari 11 wartawan PDKN. Dokumentasi ini mengungkap pola kekerasan yang berulang, termasuk:

Penangkapan dengan kekerasan

Aparat kepolisian dan TNI melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap para pengunjuk rasa, disertai dengan kekerasan fisik, antara lain pemukulan, tendangan, penyeretan, bahkan penggunaan peralatan seperti pentungan dan tameng. Contoh kekerasan serupa terjadi di Kediri dan Samarinda, di mana petugas polisi memukuli demonstran saat melakukan penangkapan.

Beberapa diantaranya termasuk penyiksaan, penggunaan gas air mata, penghilangan paksa dalam jangka pendek, serangan digital dan penolakan akses terhadap bantuan hukum.

Selain itu, TAUD mencatat kekerasan serupa tidak hanya terjadi pada aksi #KawalPutusanMK, tetapi juga pada peristiwa lain seperti aksi Reformasi Korupsi pada tahun 2019 dan penolakan Omnibus Law pada tahun 2020. Kurangnya penegakan hukum terhadap pelaku Kekerasan dan pengabaian negara dalam melindungi hak asasi manusia telah menyebabkan terulangnya kekerasan tersebut dan berlanjutnya budaya impunitas di Indonesia.

Berdasarkan temuan tersebut, TAUD menyerukan sejumlah tindakan mendesak, antara lain:

1. Pemerintah dan DPR segera menghentikan manuver politik yang membahayakan konstitusi dan kepentingan rakyat.

2. Penilaian komprehensif terhadap keterlibatan Polri dan TNI dalam pelanggaran HAM pada saat demonstrasi keamanan.

3. Proses hukum internal di lingkungan Polri untuk mengusut tuntas pelanggaran dan memberikan sanksi kepada petugas yang terbukti bersalah.

4. Investigasi independen yang dilakukan oleh Komnas HAM, Kompolnas dan Ombudsman untuk memberikan rekomendasi kebijakan guna memastikan kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

MICHELLE GABRIELLA | AMELIA RAHIMA SARI

Pilihan Redaksi: Dua Wartawan Tempo Jadi Korban Represif Penguasa Saat Meliput Aksi Demo Bela Putusan MK


Share this content:

Post Comment

You May Have Missed