Jejak Perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Pasukan Ciung Wanara dalam Perang Puputan
Kabar Indonesia, Jakarta – Pada tanggal 20 November 1946, pemimpin perlawanan terhadap Belanda yang dikenal dengan Perang Puputan di Bali, I Gusti Ngurah Rai tewas dalam perang tersebut. Ia dilahirkan di desa Karangsari, kabupaten Badung, Bali, pada tanggal 30 Januari 1917.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Ngurah Rai bekerja sebagai agen Mitsui Bussan Kaisha (MBK) di Bali dan Lombok. Bersama teman-teman lama Prayoda, ia terlibat dalam gerakan bawah tanah. Beberapa temannya seperti I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Wayan Debes bergabung dengan PETA di Bali sehingga memperluas jaringan gerakannya.
Seiring berjalannya waktu, Ngurah Rai terus berkontribusi dalam upaya perlawanan hingga kemudian diangkat oleh Orip Soemohardjo sebagai Panglima Tentara Minggu Kecil Indonesia (TRI). Pangkatnya dinaikkan dari mayor menjadi letnan kolonel. Resimen ini merupakan bagian dari Divisi VII Suropati yang bermarkas di Malang. Ia juga ditunjuk sebagai Ketua Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) yang membawahi seluruh kekuatan sosial politik di masyarakat dan pasukan rakyat.
Selain itu pada tanggal 3 April 1946 dilakukan ekspedisi militer dari Jawa ke Bali yang dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Varoka, Markadi Poerjirahardjo, Ngurah Rai. Rombongan yang tiba di Bali langsung melakukan konsolidasi. Pasukan Ngurah Rai menuju ke selatan dan kemudian mendirikan markasnya di Tabanan.
Sedangkan pasukan Markadi yang semula bermarkas di Jembrana bertugas membentuk pangkalan ALRI dan mengamankan jalur Bali-Banyuwangi karena mendapat tekanan berat dari Belanda, dan bergabung dengan pasukan Ngurah Rai. Kedua pasukan tersebut terus-menerus diserang oleh Belanda, sehingga markas mereka terus berpindah-pindah.
Pada tanggal 16 April, Ngurah Rai membentuk markas Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil bersama para tokoh perjuangan. Merupakan penggabungan dari TRI Sunda Kecil dan organisasi militan Bali yang berpusat di Munduk Malang di bawah pimpinan Ngurah Rai. Untuk menarik perhatian penduduk dan membagi perhatian tentara, NICA mulai tanggal 29 Mei diadakan perjalanan panjang Gunung Agung dari barat ke timur dan sebaliknya.
Kutipan dari artikel “Masa terakhir revolusi fisik di Bali 1946-1949”, Juli 1946, ketika pasukan perjalanan panjang sampai di desa Galungan sekembalinya dari Gunung Agung. Gusti Ngurah Rai mengadakan pertemuan dengan markasnya, yang hasilnya para panglima pasukan dan anak buahnya diperintahkan kembali ke daerahnya untuk melanjutkan perang gerilya.
Selain itu, kawasan Tabanan ditetapkan sebagai markas pertahanan MBU-DPRI, dan dibentuk satuan komando bernama Chiung Wanara untuk menjaga markas.
Namun saat itu kekuatan senjata di Bali sangat minim dan upaya meminta bantuan senjata selalu gagal. Maka untuk mengatasi permasalahan senjata tersebut mereka menggunakan berbagai jenis senjata tradisional yang banyak dikenal di Bali. Dan juga penggunaan kelicikan dengan menggunakan senapan mesin ringan bambu buatan yang fungsinya hanya untuk memeriahkan suara tembakan sekaligus menakuti musuh terutama pada malam hari.
Ngurah Rai selaku pimpinan MBU-DPRI sempat khawatir perjuangannya hanya bergantung pada senjata dan tipu muslihat yang minim. Hal inilah yang mendorong Ngurah Rai memutuskan untuk merampas senjata tersebut dari tangan NICA di Tabanan.
Kegiatan ini berhasil, sehingga Ngurah Rai dan rakyatnya mampu mempunyai persenjataan yang cukup. Ia juga berencana untuk mentransfer senjata kepada militan lain dan telah menghubungi Ida Bagus Tantra di wilayah Badung untuk tujuan tersebut. Kabar tersebut diterima oleh Ida Bagus Tantra pada tanggal 20 November 1946 pukul 13.00, namun setelah dihubungi Ngurah Rai dan orang-orangnya ternyata mereka kesulitan memastikan kelebihan senjata tersebut tidak dapat dipindahkan ke tempat lain.
Mengetahui hal tersebut, prajurit NICA tidak mengizinkan Ngurah Rai dan anak buahnya berkeliaran dengan bersenjata lengkap. Mereka pun merasa terpukul dan terhina karena senjatanya disita. Oleh karena itu, Panglima tentara Belanda di Bali Overst Ter Nenku memerintahkan anak buahnya untuk merebut kembali senjata sekaligus memusnahkan Ngurah Rai dan anak buahnya.
Hal ini kemudian memicu terjadinya Pertempuran Margaran yang kemudian dikenal dengan nama Perang Puputan Margaran. Dalam pertempuran ini, pasukan NICA mengandalkan kekuatan angkatan darat dan udaranya yang dilengkapi dengan pesawat pengebom dan pesawat tempur.
Dalam pertempuran tersebut, seperti dikutip dari situs Kemdikbud, Ngurah Rai beserta jajarannya seperti Mayor Wisnu, Mayor Debes, Mayor Sugianyar dan Letnan Dwindaa beserta seluruh pasukannya tewas di medan pertempuran. Jumlah korban sebanyak 96 orang meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 November 1946 dan merupakan pertempuran terbesar yang pernah terjadi di Bali pada saat pasukan NICA menduduki pulau Bali.
Tewasnya Ngurah Raya dan pasukannya membuat Tentara Republik Indonesia di Bali kehilangan perwira-perwira terdepannya sehingga melumpuhkan perjuangan militer di Bali saat itu.
Share this content:
Post Comment