Catatan Ketua MPR RI : Mendorong Parpol Peduli dan Wujudkan Kebaikan Bersama


INFORMASI NASIONAL – Hampir setiap aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa didasarkan pada keputusan atau kebijakan politik. Oleh karena itu, peran politisi dalam konteks ini sangatlah besar. Konsekuensinya, Partai Politik (Parpol) harus mampu menghadirkan kader atau politisi yang kredibel dan kompeten untuk menjadi anggota DPR/MPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kewenangan dan kompetensi komunitas politik akan memungkinkan partai politik mewujudkan kebaikan bersama.

Dinamika hidup bersama diatur dengan undang-undang (UU), berbagai peraturan pemerintah, dan peraturan daerah. Setelah menyerap dan merangkum aspirasi masyarakat, para politisi di parlemen bersama unsur eksekutif atau pemerintah berinisiatif, berdiskusi, berdiskusi dan menyepakati dasar-dasar dan rancangan keputusan atau kebijakan politik yang menjadi undang-undang atau peraturan publik.

Sistem demokrasi tidak hanya menginisiasi, memperdebatkan, dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masyarakat, tetapi juga memberikan hak dan wewenang kepada partai politik untuk mengajukan dan mengusung calon-calon pemimpin publik di semua tingkatan, mulai dari presiden, gubernur, hingga bupati dan walikota. Dengan demikian, peran dan kontribusi partai politik bersama politisi dalam seluruh aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa sangatlah besar.

Sudah menjadi bukti sejarah bahwa arah masa depan suatu negara sedikit banyak ditentukan oleh pemikiran, pertimbangan, dan kesepakatan politik para politisi di parlemen. Begitu pula dengan arah masa depan masing-masing daerah. Secara ekstrim, baik buruknya dinamika kehidupan berbangsa juga dipengaruhi oleh komunitas politisi yang biasanya mewakili beberapa partai politik. Komunitas politisi dan negarawan yang bijak tentunya antusias dan fokus dalam memajukan kebaikan bersama. Di sisi lain, politisi yang tidak dapat dipercaya, tidak kompeten, dan berwirausaha tentu berpotensi merusak ketertiban.

Saat ini, seluruh lapisan masyarakat mengkhawatirkan tatanan hidup bersama yang jauh dari ideal. Kekhawatiran ini sudah ada sejak lama. Banyak komunitas yang sulit percaya ketika mereka melihat negara-bangsa begitu lemah karena tidak mampu menghentikan tindakan dan petualangan segelintir politisi yang menghancurkan tatanan kehidupan bersama. Demokrasi dimanipulasi untuk kepentingan sempit.

Prinsip kepatutan dan kepatutan dipadukan. Logika benar dan salah diputarbalikkan, dan setiap orang dipaksa menerima apa yang salah sebagai kebenaran. Suatu keputusan atau putusan hukum yang dihasilkan dari suatu proses yang cacat secara moral dan etika tetap diterima dan dilaksanakan. Sedangkan akal sehat masyarakat awam memahami bahwa suatu kedudukan hukum akibat proses yang cacat secara moral dan etika tidak dapat dilaksanakan secara nyata (unenforceable).

Masyarakat sedih dan prihatin karena melihat negara tidak berdaya mencegah terciptanya proses anomali yang masih terjadi hingga saat ini. Masyarakat mengetahui dan mencatat bahwa korupsi sedang merajalela. Alih-alih merespons kasus-kasus korupsi yang meresahkan masyarakat, aparat penegak hukum justru menunjukkan respons selektif terhadap kasus-kasus tersebut.

Akibatnya, saat ini persepsi sebagian besar masyarakat terhadap kehidupan berbangsa sangatlah negatif. Ada komentar di ruang publik bahwa Indonesia sebenarnya telah menjadi negara kleptokrasi dan bukan negara demokrasi. Sungguh menyedihkan bahwa negara-bangsa tidak mampu menghentikan tren kleptokrasi atau pencurian kekayaan negara yang dilakukan oleh berbagai pihak. Presiden terpilih Prabowo Subianto melontarkan sindiran soal negara kleptokratis pada minggu ketiga Februari 2019 dalam forum Silathurahim Ahlit Toriko Syatoria Annadhliya di majelis Taklim Kyai Tambak Deres Surabaya.

Ini bukan sekedar ekspresi kleptokrasi. Ungkapan “trias cordica” juga ditemukan di ruang publik. Ungkapan tersebut merupakan plesetan dari trias politik yang muncul akibat inkonsistensi negara dalam pemberantasan korupsi. Tak sampai disitu saja, dengan diselenggarakannya Pilkada Serentak tahun ini, perhatian seluruh lapisan masyarakat tertuju pada fakta kartelisasi politik. Banyak masyarakat yang sangat kecewa karena banyak partai politik yang hampir kehilangan ideologinya dan siap “dipaksa” menjadi anggota kartel politik yang dibentuk dengan menggunakan sumber daya pemerintah.

Beragamnya pandangan negatif yang menggambarkan ketidaknormalan tentu mencerminkan rasa frustasi dan kemarahan masyarakat. Frustrasi dan kemarahan terus bergema di ruang publik karena anomali yang terjadi di Indonesia saat ini sangat memukul hampir 50 juta masyarakat kelas menengah di negara ini. Mereka kehilangan pekerjaan akibat memburuknya kinerja industri manufaktur, namun mereka tetap harus tetap memenuhi kewajiban perpajakannya.

Periklanan

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian besar rasa frustrasi dan kemarahan tidak hanya ditujukan kepada regulator, namun juga kepada partai politik dan komunitas politik di Parlemen. Sebab masyarakat hanya memahami bahwa seluruh aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa didasarkan pada keputusan atau kebijakan politik yang menjadi pertimbangan di parlemen.

Anomali yang terjadi di Indonesia saat ini juga patut diapresiasi, patut menjadi perhatian para pengambil kebijakan di tengah padatnya jadwal seluruh partai politik yang mempersiapkan diri untuk mengikuti Pilkada Serentak pada tahun 2024. Karena daya rusaknya yang luar biasa, anomali yang ada saat ini telah menjadi bom waktu. . Ledakan tersebut dapat menimbulkan krisis multidimensi. Semua partai politik dihimbau untuk menunjukkan kepedulian dan semangat demi segera terwujudnya kebaikan bersama.

Memang benar, perbaikan disfungsi yang terjadi di Indonesia saat ini harus dimulai dengan mendorong seluruh partai politik untuk melakukan perbaikan internal, termasuk sistem rekrutmen dan proses kepegawaian. Partai politik merupakan landasan demokrasi dan titik tolak paling strategis bagi terselenggaranya proses pembentukan pemerintahan yang baik dan benar sesuai dengan konstitusi. Hal ini juga merupakan faktor penting dalam menjamin kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Persoalannya, partai politik tidak hanya mempunyai hak dan kewenangan untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum, namun juga mempunyai kekuatan hukum untuk memilih pejabat pemerintah di tingkat daerah dan pusat, baik melalui pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. . . Melalui anggotanya di parlemen, partai politik juga diberi kewenangan untuk melakukan uji kelayakan dan seleksi kelayakan Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, gubernur senior dan wakil gubernur Bank Indonesia, pimpinan dan anggota DPR. BPC, dan peradilan. KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, CPU, hakim Mahkamah Agung bahkan hakim konstitusi.

Reformasi internal partai politik harus menjadi prioritas karena semua orang tahu bahwa ada permasalahan di dalam partai politik itu sendiri. Berdasarkan riset LIPI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (CEP), setidaknya ada empat permasalahan integritas yang melingkupi partai politik. Pertama, lemahnya standar etika bagi partai politik. Partai politik harus mampu mendorong politisi jujur, memperjuangkan aspirasi masyarakat, dan menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik. Partai politik juga harus memiliki standar etika internal untuk mengurangi risiko korupsi politik. Menurut PKC, sejak tahun 2004 hingga 2023, jumlah kasus korupsi yang melibatkan anggota partai politik mencapai 344 kasus.

Permasalahan kedua adalah masalah formasi dan standar seleksi personel. Saat ini, sistem rekrutmen yang diterapkan di partai politik belum terstandarisasi, terbuka, demokratis, dan akuntabel. Akibatnya, proses rekrutmen sebagian besar didorong oleh keluarga dan kerabat politik elite partai politik. Selain itu, proses pembentukan personel bertingkat juga belum tercipta. Tantangan ketiga yang dihadapi partai politik adalah tantangan pendanaan partai, dan tantangan keempat adalah tantangan penerapan demokrasi internal di dalam partai.

Idealnya anomali yang terjadi di Indonesia belakangan ini mendapat respon konstruktif dari seluruh partai politik. Dengan peran strategisnya dalam kehidupan berbangsa, seharusnya partai politik lebih peduli dan berani mengambil inisiatif demi mencapai kebaikan bersama.

Pengarang : Bambang Soesatyo

Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Trisakti, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

Share this content:

Post Comment

You May Have Missed