Amnesty Kritik Ide Penyematan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Kabar Indonesia, Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bereaksi terhadap rencana pimpinan MPR RI yang ingin menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto. Ia mengkritisi wacana tersebut sebagai upaya untuk menguntungkan kelompok tertentu.
“Langkah ini sangat politis dan oportunistik. Itu hanya berdasarkan kepentingan sekelompok orang,” kata Usman dalam keterangan tertulis saat dihubungi. Laju melalui WhatsApp pada Sabtu, 28 September 2024
Utsman menilai jika langkah ini diambil, ia bisa saja mengkhianati semangat Reformasi. Padahal, kata Usman, gerakan 1998 mendukung kebebasan politik dan keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dalam konstitusi.
“Hal ini juga melanggar hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM pada masa rezim Suharto yang tidak mendapatkan keadilan dan masih menuntut keadilan,” ujarnya.
Apalagi, Utsman menilai gelar pahlawan nasional hanya boleh diberikan kepada orang-orang yang semasa hidupnya konsisten pada idealisme perjuangan. “Bukan orang yang di akhir hayatnya berstatus tersangka korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan,” ujarnya.
Tak sampai disitu saja, Usman mengingatkan, kejahatan lingkungan hidup, korupsi, dan pelanggaran HAM pada era Soeharto masih belum sepenuhnya diperhitungkan oleh negara.
“Korban masih menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan masa lalu,” katanya.
Sebelumnya, Pimpinan MPR telah menerima surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tertanggal 13 September 2024 tentang tindakan lebih lanjut sehubungan dengan tidak berlakunya TAP Nomor XXXIII/MPRS/1967.
Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam Rapat Pengurus MPR tanggal 23 Agustus 2024, Pengurus MPR menegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 6 TAP Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Kedudukan Materiil dan Hukum Seluruh TAP MPRS dan TAP MPR sejak tahun 1960 sampai dengan B tahun 2002. TAP nomor MPRS XXXIII/MPRS/1967 dinyatakan tidak berlaku.
Periklanan
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, tuduhan makar terhadap Sukarno atau Bung Karno batal demi hukum melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/2012 yang menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang gelar, sertifikat jasa, dan penghargaan.
“Semua tindakan itu dilakukan pimpinan MPR dalam kerangka kesadaran kita bersama untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan,” ujarnya.
Ia mengatakan MPR adalah perwujudan seluruh rakyat Indonesia. Menurut dia, dalam kerangka itu, sudah selayaknya MPR mendorong persatuan bangsa.
Oleh karena itu, pimpinan MPR RI mendesak agar jasa dan pengabdian mantan Presiden Sukarno, mantan Presiden Soeharto, dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid dicantumkan dalam gelar Pahlawan Nasional, ”ujarnya.
Bamsoet berpesan, tidak boleh ada warga negara Indonesia, apalagi pemimpin negara, yang dihukum tanpa adanya pengadilan yang adil. Menurutnya, keluh kesah sejarah tidak perlu dilimpahkan kepada anak bangsa yang tak pernah tahu, apalagi terlibat dalam berbagai peristiwa kelam di masa lalu.
“MPR adalah perwujudan gagasan seluruh bangsa Indonesia. Sudah sepatutnya dalam kerangka itulah MPR menjalin persatuan bangsa. Ibarat benang yang mengikat kain yang berbeda warna, MPR menjalin harapan dan cita-cita suatu bangsa dalam satu kesatuan yang harmonis. kata Bamsoet.
Pilihan Redaksi: KSAL Ungkap Pertimbangan Pemberian Brevet Hiu Kencana kepada Jokowi
Share this content:
Post Comment